Jogja - Setelah berulang kali merasakan
secara langsung proses penyelenggaraan event di lapangan, lambat laun
dengan sendirinya semakin memperkuat sisi-sisi intuitif yang membantu setiap
keputusan yang akan diambil. Bersentuhannya udara lapangan
dengan kulit tubuh seolah menciptakan kohesi yang padu dalam mengawal proses event
yang tengah berjalan. Sedikit pengalaman di Purwokerto dan Cilacap belumlah cukup dalam menancapkan pondasi awal memperkuat naluri lapangan
seorang pekerja event. Selain pengalaman lapangan yang cukup, sharing dengan profesional
yang sudah lama berkutat terlebih dahulu dalam bidang yang sama juga menjadi
keharusan.
Jogja merupakan kota yang nyaman,
hal ini kental terasa saat pertama kali saya menginjakkan kaki di bumi mataram.
Tepat di bulan Juni tahun 2008, udara dan nafas Jogja perlahan melekat dalam
keseharianku. Lingkungan baru, budaya baru, kebiasaan baru dan proses adaptasi
bagi seorang pegiat EO haruslah cepat direspon, sehingga penerimaan dan
penyesuaian sebagai proses menuju tujuan utama dapat tercapai. Bagaimana
bertahan hidup dengan kondisi yang fluktuatif dan erbagai faktor yang turut
mempengaruhi adalah filosofi sederhana dari prinsip Event Organizer.
Kurang lebih sebulan di Jogja dan
mendapatkan hunian baru (kost) didaerah perumahan baciro baru, tantangan baru
sebagai event organizerpun mulai diuji. Tidak perlu menunggu lama, karena
Pameran Buku di Solo harus segera digelar bulan Agustus 2008. Belum begitu
mengenal Jogja sudah dihadapkan pada kondisi dimana harus mempelajari kondisi,
situasi terakhir dan karakteristik kota Solo dengan segala faktor yang
menyertainya.
Masih terngiang dalam benak,
bahwa jaringan (networking) sangat membantu dalam kita melangkah mengenal
daerah ‘jajahan’ baru. Memanfaatkan
netwotrking melalui jaringan komunitas film indie di Cilacap, maka
terkoneksilah dengan komunitas yang sama di solo sebagai pintu awal membuka
link yang lebih luas lagi. Perlahan memahami geografis kota solo, karakteristik
warganya, kabiasaan masyarakatnya, dan tentu dengan mengamati penyelenggaraan
event-event yang diadakan di Solo. Dengan sedikit informasi sementara, basecamp
pun diperoleh di daerah bagian belakang Solo Grand Mall (SGM).
Dari basecamp yang berbentuk
rumah kost dan menyewa 2 kamar, petualangan menaklukkan kota Solo dimulai.
Pendekatan dengan Media Massa pun dimulai; Surat Kabar, Radio, Web Portal, TV
Lokal dan sebagainya. Bentuk promosi Below The Line mulai digarap dengan
memetakan pola geografis yang akan dibentuk. Pendekatan dengan beberapa
komunitas sebagai pendukung acara dari sisi yang lebih menghibur mulai di
follow up. Berbagai strategi seolah mulai bergelantungan dalam benak. Mengurai
birokrasi Solo terbilang bukan hal yang mudah, pola ‘pekeuwuh’ yang sebagian
besar dimiliki warga solo harus diselami secara dalam-dalam.
Dengan back up promosi, dari sisi
above the line mulai dari Boyolali, Solo, Karanganyar dan Sragen dan below the line dengan coverage area yang
sama, makin meningkatkan rasa optimis
bahwa pameran bakal rame pengunjung. Dengan tetap memperhatikan content acara
yang mendidik namun tetap menghibur sehingga menghilangkan kesan kaku
acara-acara pendidikan dan dikemas menjadi bentuk baru yakni edu-taintment. Setidaknya itulah konsep
yang pada akhirnya bisa diterapkan disetiap kota-kota yang akan dilewati
pameran buku.
Perhatian serius dari sisi acara
bukan main-main, karena itu band parodi yang tenar kala itu ‘Pecas Ndahe’ didapuk sebagai headliner
selain juga permainan perkusi yang apik dan parade band yang melibatkan
band-band pelajar lokal. Sebagai pemuncak kehadiran bintang tamu Raditya Dika
adalah yang paling ditunggu, tidak sia-sia gembar gembor artist yang juga
penulis buku laris ‘kambing jantan’itu
kian menggebrak rangkaian acara yang digelar selama seminggu. Mulai dari acara
yang membidik segment anak, seperti lomba mewarnai dan menggambar, fashion
show, lomba nyanyi, parade band, talkshow dan jumpa artist serta acara
pendukung lainnya terbukti cukup meningkatkan euforia yang sudah terbangun dari
awal melalui serangkaian promosi outdoor dan above the line.
Meski saat itu image yang
berkembang bahwa warga solo lebih menyukai konsep hiburan secara gratis tanpa
keluar uang sepeserpun, tidak selamanya benar ketika melalui hiburan tersebut
justru akan lebih afdhol ketika dituntut untuk membelanjakan sebagian uangnya
demi kepuasan. Dalam hal ini konteks membeli buku yang sesuai kebutuhan tiap2
pengunjung mampu meningkatkan omzet dari tiap-tiap penerbit yang ambil bagian
didalamnya.
Grha Wisata Niaga menjadi
satu-satunya venue yang paling representatif, baik dari sisi harga sewa maupun
letak strategisnya. Sehingga dengan akumulasi beberapa pertimbangan yang saling
mendukung dari strategi yang sudah dijalankan, Pameran Buku di Solo terbilang
sukses saat itu dan indikator yang paling menonjol hampir sebagian besar
penerbit mencapai target omzet. Menaklukan tantangan Event organizer
seseungguhnya tidak lain dengan mengalahkan unsur subjektifitas diri yang belum
tentu diinginkan konsumen atau audience, salah satu kuncinya dengan melihat trend
dan keinginan pasar.
|
No comments:
Post a Comment