Sunday, 22 July 2012

Tantangan Event Organizer sesungguhnya.


Jogja - Setelah berulang kali merasakan secara langsung proses penyelenggaraan event di lapangan, lambat laun dengan sendirinya semakin memperkuat sisi-sisi intuitif yang membantu setiap keputusan yang akan diambil. Bersentuhannya udara lapangan dengan kulit tubuh seolah menciptakan kohesi yang padu dalam mengawal proses event yang tengah berjalan. Sedikit pengalaman di Purwokerto dan Cilacap belumlah cukup dalam menancapkan pondasi awal memperkuat naluri lapangan seorang pekerja event. Selain pengalaman lapangan yang cukup, sharing dengan profesional yang sudah lama berkutat terlebih dahulu dalam bidang yang sama juga menjadi keharusan. 
Jogja merupakan kota yang nyaman, hal ini kental terasa saat pertama kali saya menginjakkan kaki di bumi mataram. Tepat di bulan Juni tahun 2008, udara dan nafas Jogja perlahan melekat dalam keseharianku. Lingkungan baru, budaya baru, kebiasaan baru dan proses adaptasi bagi seorang pegiat EO haruslah cepat direspon, sehingga penerimaan dan penyesuaian sebagai proses menuju tujuan utama dapat tercapai. Bagaimana bertahan hidup dengan kondisi yang fluktuatif dan erbagai faktor yang turut mempengaruhi adalah filosofi sederhana dari prinsip Event Organizer.
Kurang lebih sebulan di Jogja dan mendapatkan hunian baru (kost) didaerah perumahan baciro baru, tantangan baru sebagai event organizerpun mulai diuji. Tidak perlu menunggu lama, karena Pameran Buku di Solo harus segera digelar bulan Agustus 2008. Belum begitu mengenal Jogja sudah dihadapkan pada kondisi dimana harus mempelajari kondisi, situasi terakhir dan karakteristik kota Solo dengan segala faktor yang menyertainya.
Masih terngiang dalam benak, bahwa jaringan (networking) sangat membantu dalam kita melangkah mengenal daerah ‘jajahan’ baru. Memanfaatkan netwotrking melalui jaringan komunitas film indie di Cilacap, maka terkoneksilah dengan komunitas yang sama di solo sebagai pintu awal membuka link yang lebih luas lagi. Perlahan memahami geografis kota solo, karakteristik warganya, kabiasaan masyarakatnya, dan tentu dengan mengamati penyelenggaraan event-event yang diadakan di Solo. Dengan sedikit informasi sementara, basecamp pun diperoleh di daerah bagian belakang Solo Grand Mall (SGM).
Dari basecamp yang berbentuk rumah kost dan menyewa 2 kamar, petualangan menaklukkan kota Solo dimulai. Pendekatan dengan Media Massa pun dimulai; Surat Kabar, Radio, Web Portal, TV Lokal dan sebagainya. Bentuk promosi Below The Line mulai digarap dengan memetakan pola geografis yang akan dibentuk. Pendekatan dengan beberapa komunitas sebagai pendukung acara dari sisi yang lebih menghibur mulai di follow up. Berbagai strategi seolah mulai bergelantungan dalam benak. Mengurai birokrasi Solo terbilang bukan hal yang mudah, pola ‘pekeuwuh’ yang sebagian besar dimiliki warga solo harus diselami secara dalam-dalam.
Dengan back up promosi, dari sisi above the line mulai dari Boyolali, Solo, Karanganyar dan Sragen  dan below the line dengan coverage area yang sama,  makin meningkatkan rasa optimis bahwa pameran bakal rame pengunjung. Dengan tetap memperhatikan content acara yang mendidik namun tetap menghibur sehingga menghilangkan kesan kaku acara-acara pendidikan dan dikemas menjadi bentuk baru yakni edu-taintment. Setidaknya itulah konsep yang pada akhirnya bisa diterapkan disetiap kota-kota yang akan dilewati pameran buku.
Perhatian serius dari sisi acara bukan main-main, karena itu band parodi yang tenar kala itu ‘Pecas Ndahe’ didapuk sebagai headliner selain juga permainan perkusi yang apik dan parade band yang melibatkan band-band pelajar lokal. Sebagai pemuncak kehadiran bintang tamu Raditya Dika adalah yang paling ditunggu, tidak sia-sia gembar gembor artist yang juga penulis buku laris ‘kambing jantan’itu kian menggebrak rangkaian acara yang digelar selama seminggu. Mulai dari acara yang membidik segment anak, seperti lomba mewarnai dan menggambar, fashion show, lomba nyanyi, parade band, talkshow dan jumpa artist serta acara pendukung lainnya terbukti cukup meningkatkan euforia yang sudah terbangun dari awal melalui serangkaian promosi outdoor dan above the line.
Meski saat itu image yang berkembang bahwa warga solo lebih menyukai konsep hiburan secara gratis tanpa keluar uang sepeserpun, tidak selamanya benar ketika melalui hiburan tersebut justru akan lebih afdhol ketika dituntut untuk membelanjakan sebagian uangnya demi kepuasan. Dalam hal ini konteks membeli buku yang sesuai kebutuhan tiap2 pengunjung mampu meningkatkan omzet dari tiap-tiap penerbit yang ambil bagian didalamnya.
Grha Wisata Niaga menjadi satu-satunya venue yang paling representatif, baik dari sisi harga sewa maupun letak strategisnya. Sehingga dengan akumulasi beberapa pertimbangan yang saling mendukung dari strategi yang sudah dijalankan, Pameran Buku di Solo terbilang sukses saat itu dan indikator yang paling menonjol hampir sebagian besar penerbit mencapai target omzet. Menaklukan tantangan Event organizer seseungguhnya tidak lain dengan mengalahkan unsur subjektifitas diri yang belum tentu diinginkan konsumen atau audience, salah satu kuncinya dengan melihat trend dan keinginan pasar.
Membatik sepanjang City Walk kota Solo disela-sela waktu mempersiapkan Pameran.

Bersama alm. mbah Gesang, pencipta Lagu 'Bengawan Solo'

Tim Panitia Pameran Buku Solo

ng-MC

Menikmati makan siang bersama Tim Cilacap, sehari setelah selesai event di Pantai Widarapayung

Bersama keponakan dan temen2 bumiayu di Prambanan, pada gendong momongan yak :)

Memberi motivasi untuk teman2 FKMBS (Forum Komunikasi Mahasiswa Brebes Selatan)

No comments:

Post a Comment