Thursday, 29 November 2012

Promotor Musik; antara Peluang, Resiko dan Prospek Bisnis

Yogyakarta - Istilah Event Organizer di Indonesia mulai populer sejak tahun 1990-an. Namun bila ditilik lebih jauh lagi, kepanitiaan skala kecil sudah terbentuk lama bahkan jauh sebelum kemerdekaan negeri ini. Maraknya penyelenggaraan event 'music concert' kian merebak antara tahun 1994 hingga saat ini. Terlebih pasca krisis yang melanda Indonesia tahun 1998, perhelatan ajang unjuk gigi band-band luar negeri semakin banyak digelar di kota-kota besar Indonesia. Beberapa teman yang beruntung menonton konser perdana band cadas Metallica pada tahun 1993(tanggal 10-11 April 1993-red) di Stadion Lebak Bulus Jakarta, menceritakan kekagumannya setelah menonton langsung konser besar tersebut.


Konser yang digagas oleh promotor Airo milik pengusaha Setiawan Djodi itu berlangsung ricuh di hari pertama, kerusuhan menjalar diluar stadion dengan banyaknya mobil yang dibakar hingga suasana makin mencekam. Seorang teman lain dari solo sampai rela membongkar isi 'celengan' hasil jerih payah menabungnya selama 3 tahun demi menonton band favoritnya itu. Tahun 1992 Sepultura juga menggelar konsernya di Jakarta dan Surabaya, adapun konser juga berlangsung rusuh, hingga konser dihentikan pada lagu ke-6 karena suasana yang kurang kondusif. Sejak saat itu yang dibarengi dengan berdirinya Original Production tahun 1991 milik Tommy Pratama dan Java Musikindo yang dirintis Adrie Subono pada tahun 1994 semakin meramaikan dunia 'showbiz' di tanah air.

Sejak 10 tahun terakhir bermunculan promotor dan event organizer lain dengan bidang spesifikasi masing-masing bak jamur di musim hujan. Sebut saja promotor yang berdiri tahun 2010 dan sempat menggemparkan jagat hiburan tanah air dengan mengundang Lady Gaga, meski akhirnya konser dibatalkan karena ijin keramaian dari Polda Metro Jaya tidak turun. Big Daddy sebagai promotor baru yang pada awal berdirinya menggelar konser band-band dan penyanyi solo legend ini digawangi oleh Michael Rusli yang memandang optimis bahwa bisnis hiburan akan selalu prospek di masa mendatang. Kemantapan mantan bankir ini dijawab dengan merintis bisnisnya dari hulu hingga hilir, hingga saat ini Big Daddy telah memiliki sound equipment seharga Rp. 40 M merk 'Adam Sound' yang dibeli guna memenuhi riders artist, saat itu permintaan dari Linkin Park. Selain itu Big Daddy juga tengah membangun indoor stadium untuk kebutuhan konser yang menampung ribuan audience dan memiliki agency penjualan tiket sendiri yang menjadi bagian dari core bussines nya, yakni 'My Ticket'.

Para promotor dan Event Organizer besar makin optimis menggeluti peluang bisnis yang semakin terbuka luas dengan iklim sangat kompetitif. Meski memiliki prospek yang cemerlang, namun tidak dapat dipungkiri tingkat resiko yang tinggi juga bisa menimpa promotor karena kesalahan fatal. Menarik bila sedikit mengutip pernyataan Adrie Subono bahwa bisnis promtor gak ada matinya, setiap tahunnya bermunculan artist-artist baru yang siap diorbitkan, artist tanpa promotor gak akan jalan, selain masyarakat dewasa ini terutama di kota-kota besar sangat haus akan hiburan untuk menghilangkan penat dari rutinitas mereka. Bahkan bila melihat fenomena saat ini pun, promotor sudah semakin spesifik membidik genre musik yang akan diusungnya. Sebut saja Revision Entertaintment yang berkhidmat menggelar konser band-band metal yang bertajuk 'Hammersonic'. Kemudian Java Festival Production yang concern mengadakan Java Jazz, Java Rockingland dan Java Soulnation serta Original Production yang rutin mengundang band-band legend seperti; Iron Maiden, Megadeth, Scorpions, Deep Purple, Firehouse, dan yang terbaru sang bos Tommy Pratama bersiap membawa Metallica di tahun 2013.

Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata juga tidak lepas dari euforia dan hingar bingar konser musik yang menampilkan band-band luar negeri. Dan bila melihat prospeknya, saat ini adalah sebagai tahun permulaan, masih terbuka kemungkinan panggung-panggung megah berdiri di kota gudeg ini. Diantara promotor yang menggelar konser artist luar negeri adalah Idioconcept yang mendatangkan Secondhand Serenade dan Rajawali Indonesia yang telah mengundang Rick Price dan konser terdekat di bulan Desember, MLTR -Michael Learns To Rock. Meski dunia showbiz di Yogyakarta masih mungkin berkembang layaknya kota besar lainnya, namun agaknya promotor lokal perlu belajar banyak dari pemain besar dan mencermati apa yang disampaikan Adrie Subono, bahwa untuk dapat memilih artis yang tepat, perlu survei pasar. Harus dilihat, artis mana yang punya album dan hits terbaru, dan punya fans banyak di Indonesia. Meski profit yang bisa dihasilkan menggiurkan, namun resiko dan kerugian yang tidak sedikit juga harus siap ditanggung promotor sebagai konsekuensi logis atas kekeliruan dari proses persiapan konser. Jadi, boleh dibilang antara peluang dan resiko masih fifty-fifty dalam membentuk prospek bisnis yang sehat. Tidak hanya bermodal materi melimpah, namun jadilah Promotor dan Event Organizer cerdas yang mempersiapkan segalanya dengan matang tanpa ada cacat sedikitpun. (Rry) 
- Dari berbagai sumber. 

No comments:

Post a Comment